Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - Kolom ini hadir sebagai ruang refleksi atas dinamika demokrasi Indonesia pasca-Reformasi, ketika masyarakat sipil terus mencari cara untuk menegakkan kontrol terhadap negara. -Mitigasi - dipahami sebagai upaya pencegahan konflik sosial dan politik, sementara - Litigasi - merujuk pada proses penegakan hukum serta penyelesaian sengketa yang lahir dari ketegangan sipil-militer maupun antar-aktor politik. Melalui perspektif supervisi sosial, kolom ini menyoroti bagaimana lembaga non-pemerintah, media, serta komunitas akademik berperan sebagai pengawas kritis. Tujuannya jelas: memastikan demokrasi tidak hanya menjadi prosedur elektoral, tetapi juga praktik yang berpihak pada keadilan sosial. Dalam lingkup politik, kolom ini mengurai fenomena - grey area - purnawirawan militer, problem akuntabilitas hukum, hingga dilema skeptisisme publik terhadap institusi negara. Semua dibaca bukan semata dari sisi hukum formal, melainkan juga sebagai gejala sosiologis yang memengaruhi hubungan kekuasaan dan kepercayaan publik. Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - bukan hanya catatan akademik, melainkan juga ajakan untuk terus mengawal reformasi. Bahwa demokrasi sejati hanya dapat tumbuh bila ada keseimbangan antara negara yang berkuasa dan masyarakat yang berdaya mengawasi.
Imparsialitas Hukum, Sekat Sosial dan Potensi Konflik
4 jam lalu
***
Hukum, dalam pengertian ideal, selalu menjanjikan imparsialitas. Ia diproyeksikan sebagai sistem yang berdiri netral, adil, dan utuh untuk setiap warga negara tanpa membedakan status sosial, politik, ataupun ekonomi. Namun dalam kenyataan hukum kerap tampil secara parsial: berpihak pada kepentingan tertentu, terjebak dalam bias sosial, bahkan tak jarang dikooptasi oleh kekuasaan.
Paradoks inilah yang menempatkan hukum dalam posisi rawan sekaligus menggerus legitimasi sosialnya di mata rakyat.1 Imparsialitas hukum semestinya menghadirkan perlakuan yang sama bagi semua orang, tetapi praktiknya justru memperlihatkan sekat sosial yang nyata. Kelompok elite, misalnya, kerap menikmati perlindungan hukum yang lebih lunak, sementara masyarakat kecil menghadapi represi hukum yang keras.
Fenomena ini melahirkan kelas-kelas sosial hukum: mereka yang diuntungkan hukum dan mereka yang justru dirugikan olehnya. Ketika sekat ini semakin tebal, hukum yang seharusnya menjadi perekat sosial justru berubah menjadi sumber ketegangan yang memicu resistensi dan konflik.2
Contoh konkret terlihat dalam perbedaan perlakuan aparat hukum terhadap pelanggaran hukum di kalangan rakyat kecil dan elite politik. Seorang ibu di Kendal, Jawa Tengah, pernah divonis bersalah karena dituduh mencuri biji kakao senilai beberapa puluh ribu rupiah, sementara kasus-kasus besar korupsi yang merugikan negara miliaran rupiah justru bergulir lambat atau bahkan berhenti di jalan.3 Kasus lain dapat dilihat dalam kriminalisasi aktivis lingkungan yang memperjuangkan hak masyarakat adat atas tanah, yang sering dijerat dengan pasal-pasal pidana umum, sementara perusahaan besar yang merusak lingkungan justru mendapat perlindungan hukum dan akses istimewa pada kebijakan negara.4
Dalam perspektif sosiologis, pola ini juga mencerminkan reduksi kebijakan hukum. Pemerintah cenderung merumuskan hukum secara tematik—misalnya dalam isu narkotika, terorisme, atau kekerasan dalam rumah tangga—namun sering mengabaikan variabel sosial yang melatarbelakanginya. Hukum akhirnya hanya menekankan dimensi represi, tanpa memberikan ruang bagi pemberdayaan. Contoh paling jelas terlihat pada kebijakan mengenai kekerasan dalam rumah tangga, di mana hukum menempatkan kekerasan sebagai tema sentral, tetapi kurang memberi perhatian pada faktor ekonomi, pendidikan, dan relasi sosial yang memperburuk situasi keluarga. Akibatnya, hukum bekerja lebih sebagai pemadam kebakaran ketimbang sebagai upaya membangun sistem sosial yang adil.5
Lebih jauh, hukum nasional juga tidak pernah berdiri sendiri, sebab ia selalu berhadapan dengan standar internasional. Praktik diskriminasi terhadap kelompok minoritas, misalnya, mungkin dianggap sah di dalam negeri, tetapi dinilai melanggar konvensi hak asasi manusia di level global. Dengan demikian, setiap produk hukum dan kebijakan negara harus diuji dalam dua ruang sekaligus: ruang internal yang berlandaskan konstitusi, dan ruang eksternal yang tunduk pada tata kelola hukum internasional. Ketika hukum domestik gagal menjaga imparsialitasnya, kritik dari luar negeri kerap muncul sebagai bentuk pengingat bahwa negara tidak boleh terjebak dalam parsialitas yang sempit.6
Konsekuensi dari semua paradoks ini adalah lahirnya resistensi sosial. Masyarakat yang merasa diperlakukan tidak adil akan mengembangkan sikap resisten terhadap hukum dan aparat yang menegakkannya. Kelompok rentan bahkan bisa memandang hukum sebagai instrumen represi, bukan perlindungan. Dalam kondisi demikian, perlawanan sosial sering kali tak bisa dipahami sekadar sebagai tindakan melawan hukum, tetapi juga sebagai ekspresi dari kegagalan hukum menjaga imparsialitasnya.
Maka, tantangan hukum di Indonesia terletak pada upaya memulihkan kepercayaan publik dengan mengembalikan sifat imparsialnya. Hal ini hanya mungkin dicapai melalui langkah-langkah konkret: memperluas akses keadilan bagi kelompok rentan, menghapus diskriminasi struktural, serta menempatkan hukum bukan sekadar sebagai instrumen represi, melainkan sebagai sarana pemberdayaan sosial. Jika tidak, hukum akan terus berada dalam paradoksnya sendiri—hidup dalam bayangan cita-cita imparsial, namun jatuh dalam praktik parsial yang melahirkan sekat, ketimpangan, dan konflik.
Catatan Kaki
1. H.L.A. Hart, The Concept of Law (Oxford: Clarendon Press, 1961), hlm. 153.
2. Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia (Jakarta: Kompas, 2009), hlm. 77.
3. Laporan Kompas (2011), kasus Nenek Minah di Kendal terkait pencurian kakao.
4. YLBHI, Kriminalisasi Aktivis Lingkungan di Indonesia (Jakarta: YLBHI Report, 2020).
5. Émile Durkheim, Education and Sociology (Glencoe: The Free Press, 1956), hlm. 82.
6. Lon L. Fuller, The Morality of Law (Yale University Press, 1964), hlm. 41.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler